“Ssst... elo diem dulu deh sebentar,” kata Nurul. Mukanya seperti orang yang sedang mencoba memperhatikan sesuatu.
“Eh, kenapa, Rul?” gue bertanya. Bingung dengan tingkah Nurul.
“Elo denger suara anak kecil nangis enggak?”
“Anak kecil?” Gue mencoba memasang kuping lebih baik lagi. Tak berapa lama
kemudian, setelah mengecilkan volume mp3 di BlackBerry
Curve 9300, lamat-lamat gue mendengar suara itu - yang makin lama
makin terdengar keras. “Eh iya. Itu suara siapa ya?”
“Ya elo lah yang tahu. Kayaknya di ruang tengah deh. Tengokin dulu gih. Siapa
tahu itu suara Gendis.”
Gue bangkit untuk kemudian keluar kamar menuju ke ruang tengah. Gue celingukan,
terus gue panggil-panggil Teh Nila, tapi tak ada sahutan. Gue juga panggil
Gendis, anaknya Teh Nila, juga tak terdengar sahutan balik. Mungkin sedang
keluar. ‘Ah, mungkin suara bocah di luar,’ gumam gue. Gue pun balik ke kamar
lagi. Dan menemukan Nurul, melihat gue dengan tatapan bertanya.
“Siapa?”
Gue hanya bisa mengedikkan bahu. “Enggak tauk. Gue cari-cari di ruang tengah
enggak ada siapa-siapa.”
“Gendis?”
“Bukan. Gue panggil Gendis sama Teh Nila enggak ada. Paling juga anak di
luaran,” sahut gue.
“Masak?” tanya Nurul, “Dari tadi, gue masih ngedenger. Tuh, kedengeran lagi.
Elo denger enggak?”
Gue coba memperhatikan lagi. Dan memang suara anak kecil menangis kembali
terdengar. Tapi, gue yakin kok kalau suara itu tak berasal dari ruang tengah
melainkan dari luar rumah.
“Tapi…” tukas Nurul.
“Yaudah, biar elo lebih yakin,”gue mendengus. ‘Enggak percayaan banget jadi
orang.’
“Mending kita ke kamar aja Yuk,” ajak gue.
“Eh, kenapa?” tanya Nurul.
“Nanti gue jelasin.”
Mendengar kata-kata itu, raut wajah Nurul berubah. Tampaknya dia mengerti dengan maksud gue. Kami membalikkan tubuh, ketika sebuah tangan menyentuh bahu kami, dan berkata.
“Kalian mau ke mana?”
Tanpa perlu menengok, kami pun sukses pingsan.
*
“Wi, bangun…” seseorang menepuk pipiku. Yang ternyata Teh Nila dan Gendis. Gue langsung duduk dan mencari Nurul yang masih pingsan. Gue kemudian membangunkan dia. Lalu, kami menceritakan apa yang telah kami alami kepada Teh Nila. Namun, Teh Nila hanya tersenyum. Dan begitu gue melihat Gendis membawa boneka anak kecil, tahulah gue kalau yang membawa boneka itu adalah Gendis. Bukan hantu.
Gue mengelus dada. Begitu pula Nurul. Kami kembali ke kamar. Namun, begitu, gue melihat ke arah boneka itu, gue terkejut melihat itu boneka mengedip-ngedip matanya. “Ahhh…” gue kembali sukses pingsan lagi.
0 komentar:
Posting Komentar